Teologi Pembebasan Ali Syari’ati
Oleh: DR. Sabara, M. Fil.I
Bagi Dia, Tauhid berarti Keesaan (Oneless)
Bagi kita, Tauhid adalah kesatuan (unity)
KepadaNya, Tauhid berarti penghambaan
Kepada kita, Tauhid bermakna pembebasan
Untuk Dia, Tauhid adalah pemujaan tanpa syarat
Untuk kita, Tauhid adalah persamaan tanpa kelas.
Banyak di antara kita yang memiliki kesulitan besar dalam memahami
bagaimana Tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin disebabkan
oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan yang
terbatas hanya pada taqlid dan ritus, Ibadah keagamaan dan
dogma teologis. Iman (keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid.
Walhasil, Islam dengan Tauhid sebagai fondasi ajaran menjadi tak bertuah
bagi kemanusiaan, jangankan menjadi rahmat, justru Islam sering
dijadikan dalih (pembenaran) yang melanggengkan kezaliman (hal yang
sejatinya paling dilawan oleh Islam).
Secara praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi yang diyakini secara
dogmatik tak mampu menjadi "pandangan yang benar-benar hidup" yang
memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini
dikarenakan penyusunan doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran
murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split)
antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang
pada gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau
"sinkretisme kepribadian". Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut
Hassan Hanafi, dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam
kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat
(dalam politik), Konservatisme dan progresifisme (dalam sosial), serta
kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).[1]
Melihat efek regresif dari teologi dogmatik yang hari ini menjadi mainstreem
utama dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat
Islam, meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang
mampu menjawab persoalan-persoalan umat Islam, perlu dikonstruk teologi
yang mempu memantik spirit, menjadi inspiring, dan menjadi
pandangan dunia yang membebaskan umat Islam dari keterjajahan,
keterbelakangan, dan keterbodohan. Rekonstruksi teologi Islam adalah
satu hal yang sangat urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat Islam
menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak
liberasi (membebaskan) adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam
menjawab kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan
dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun
format kerangka teologi yang bersifat liberasi sangat dibutuhkan
penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci (Alquran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi yang konstruktif bagi umat Islam.
Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki
relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul
dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan
bahwa Islam adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi
pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan
universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana
aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau
aktivitas duniawi.[2]
Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan.
Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran
umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam
peradaban.[3]
Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi
transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah
yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak
memiliki keterpisahan yang kaku sehingga harus diposisikan secara biner.
Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi yang akhirnya
menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.[4]
Secara universal, seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus
diintegrasikan ke dalam "jaringan relasional Islam". Jaringan ini
diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek keagamaan
dan keduniawian, spiritual dan material, individual dan sosial.
Jaringan relasional Islam ini akhirnya teruji dalam bentuk praksis
ibadah ritual[5]
yang merupakan kewajiban yang mesti dijalankan oleh umat Islam. Selain
itu, perlu digagas relasi Tauhid dan pembebasan, implementasi Tauhid
dalam konteks penindasan, dan masyarakat seperti apa yang diinginkan
dalam konteks Tauhid.
Ali Syari'ati merupakan salah seorang tokoh intelektual muslim abad modern yang concern pada
tema-tema pembebasandari agama. Berbasis pandangan dunia Tauhid beliau
menjadi propagandis yang membakar semangat anak muda Iran di tahun
1970-an untuk bangkit melawan penindasan rezim Pahlevi. Tak bisa
dipungkiri, beliau adalah salah seorang tokoh teologi pembebasan Islam,
yang bahkan mempersembahkan nyawanya untuk misinya tersebut.
Biografi Singkat Ali Syari'ati
Ali Syari'ati terlahir dengan nama Ali Mazinani, pada tanggal 24
November 1933 di Mazinan, sebuah daerah dekat kota suci Masyhad, sebuah
kota yang dianggap suci oleh para penganut Syiah imamiyah Itsna
‘Asyariyah, karena di kota tersebut dimakamkan imam mereka yang
kedelapan, yakni imam Ali bin Musa al-Ridha. Ayah beliau adalah Muhammad
Taqi Syari'ati dan ibu beliau bernama Zahrah. Nama Syari'ati sendiri
yang kemudian dikenal sebagai namanya, beliau gunakan pertama kali pada
paspornya untuk mengelabui petugas imigrasi, sewaktu beliau akan
meninggalkan Iran menuju Inggris, pada tanggal 16 Mei 1977 (beberapa
hari sebelum beliau meninggal).[6]
Orang tua beliau adalah tokoh masyarakat yang cukup disegani
ditengah-tengah masyarakatnya sebagai tokoh spiritual. Meskipun
demikian, keluarga Syari'ati tetaplah hidup sederhana selayaknya
penduduk desa yang lain. Dari keluarganya inilah Ali Syari'ati membentuk
kepribadiannya, mentalitas, dan jati dirinya, utamanya melalui sang
ayah yang berperan sebagai orang tua, guru, dan pembimbing spiritualnya.[7]
Masa muda Syari'ati dihabiskan dengan belajar, membantu orang tuanya
mencari nafkah dan ikut aktif dalam perjuangan-perjuangan politik dan
melakukan propaganda menentang rezim Syah Pahlevi yang sedang berkuasa
di Iran pada saat itu.[8]
Selain terpengaruh oleh ayahnya, pembentukan jiwa Ali Syari'ati juga cukup terpengaruh oleh kakeknya Akhund
Ahmad dan paman dari ayahnya Najib Naysapuri. Dari merekalah Ali
Syari'ati kecil mempelajari fiqih, sastra, dan filsafat. Ali Syari'ati
cukup mewarisi tradisi keilmuan yang diturunkan dari ayahnya, kakeknya,
dan paman ayahnya.tersebut.[9]
Hal ini tebukti dengan jejak langkah Ali Syari'ati selanjutnya yang
memiliki kecendrungan yang cukup tinggi terhadap berbagai jenis keilmuan
dan gerakan sosial keagamaan sebagaiamana ayah, kakek, dan paman
ayahnya tersebut.
Syari'ati kecil memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta di Masyhad.[10]
Pada saat usianya yang menginjak masa remaja, Syari'ati cukup intens
melakukan pengkajian terhadap filsafat, mistisisme, sastra, dan
masalah-masalah kemanusiaan.[11]
Ketika memasuki usia dewasa, Ali Syari'ati telah aktif menyibukkan
dirinya dalam kegiatan-kegiatan sosial politik keagamaan. Di usianya
yang masih terbilang muda, Syari'ati aktif di "Gerakan Sosialis
Penyembah Tuhan" yang didirikan oleh ayahnya.[12]
Pada tahun 1950-1951, ketika usia beliau masih 17 tahun, Ali Syari'ati
terlibat dalam gerakan nasionalisme yang dilancarkan oleh
Perdana Mentri Iran, Muhammad Mussaddeq untuk menggulingkan rezim Syah
Pahlevi. Setelah Mussaddeq gagal dalam melancarkan kudetanya pada tahun
1953, Ali Syari'ati bergabung bersama ayahnya ikut aktif dalam "Gerakan
Perlawanan Nasional" cabang Masyhad yang didirikan oleh Mehdi Bazargan.
Akibat gerakannya itu, beliau bersama ayahnya dipenjara selama delapan
bulan di penjara Teheran.[13]
Masih pada tahun 1950-an ini juga, Syari'ati mendirikan Asosiasi
Pelajar di Masyhad dan melakukan gerakan untuk menasionalisasi
perusahaan industri minyak Iran.[14]
Pada tahun 1959, Ali Syari'ati lulus sebagai sarjana sastra dari
Universitas Masyhad. Selanjutnya pada tahun 1960, beliau mendapat bea
siswa dari pemerintah untuk melanjutkan study di Universitas Sorbone di
Prancis.[15]
Di Prancis inilah Syari'ati tinggal selama lima tahun dan banyak
menimba beragam ilmu serta terlibat aktif dalam berbagai gerakan
pembebasan. Di Prancis, beliau banyak berkenalan dan berguru pada
beberapa filosof dan ilmuwan terkemuka Prancis, seperti Alexist Carrel,
Jean Paul Sartre, Henry Bergson, Frans Fanon, Louis Massignon, Albert
Camus, dan tokoh-tokoh pemikir Prancis yang lainnya.[16]
Diantara tokoh Prancis yang sangat mempengaruhi pemikiran beliau adalah
Alexist Carrel, seorang ilmuwan Prancis. Bahkan beliau menerjemahkan
dan mengembangkan buku karangan Alexist Carrel yang berjudul de Prayer kedalam bahasa Arab dengan judul al-Du'a. Diantara
tokoh pemikir eksistensialisme yang cukup mempengaruhi pemikiran Ali
Syari'ati adalah Jean Paul Sartre, Soren Abeye Kierkegard, dan Nikholas
Bordayev. Selain itu Syari'ati juga banyak mengkaji pemikiran-pemikiran
Marxisme yang sedang booming pada masa itu di dunia.
Selama di Prancis, beliau aktif dalam gerakan politik pembebasan iran
bersama Mustafa Chamran dan ibrahim Yazdi. Di saat yang sama, beliau
juga aktif dalam gerakan "Front Nasional Kedua". Selama tinggal di
Prancis, Syariati juga ikut aktif dalam gerakan pembebasan Aljazair.[17]
Setelah beliau berhasil menyelesaikan program doktoralnya di Prancis,
pada bulan September 1964, beliau meninggalkan Prancis dan kembali ke
kampung halamannya di Iran.[18]
Sesampainya di Iran, Syari'ati ditangkap dan ditahan selama 1,5 bulan
atas tuduhan terlibat aktif dalam gerakan politik melawan pemerintah
selama beliau di Prancis.[19]
Setelah dibebaskan, beliau kemudian diterima mengajar di Universitas
Masyhad. Selain itu, Syari'ati juga mengajar di beberapa sekolah di
Masyhad. Karena aktivitas politiknya yang cukup membahayakan, Syari'ati
kemudian dikeluarkan dari Universitas Masyhad, dan selanjutnya beliau
bersama Murtadha Muthahhari, Husein Behesyti, serta beberapa ulama Syiah
yang lain mendirikan lembaga pendidikan Huseiniyah Irsyad, Syari'ati
sendiri terlibat sebagai salah satu pengajarnya. Masa antara tahun
1967-1873 adalah masa di mana Syari'ati menyibukkan dirinya untuk
mengajar di Huseiniyah Irsyad serta terlibat aktif dalam gerakan-gerakan politik melawan rezim Syah. Selama mengajar di Huseiniyah Irsyad
beliau banyak memberikan kuliah yang cukup membakar semangat anak muda
Iran untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah. Akibat kegiatannya
ini, akhirnya beliau kembali dipenjarakan selama lima ratus hari oleh
pemerintah. Syari'ati baru dibebaskan oleh pemerintah Iran pada bulan
Maret 1975, itu pun setelah adanya desakan dari berbagai organisasi
internasional serta para tokoh intelektual Prancis dan Aljazair.[20]
Setelah dibebaskan, Syari'ati menyadari bahwa dirinya tidak bebas
melakukan aktivitas politik selama tinggal di iran. Akhirnya pada
tanggal 16 Mei 1977, beliau meninggalkan Iran menuju ke Eropa. Tujuan
pertama beliau adalah singgah di inggris dan selanjutnya hendak ke
Amerika Serikat untuk mengunjungi anaknya yang kuliah di sana. Tapi,
belum sempat beliau pergi ke Amerika, pada tanggal 19 juni 1977, beliau
ditemukan meninggal secara misterius di rumah keluarganya, di
Schoumpton, Inggris.[21]
Pemerintah Iran(rezim Syah) menyebutkan beliau meninggal akibat
serangan jantung, namun dugaan terkuat beliau dibunuh oleh agen SAVAK
(agen intelejen Iran).[22]
Karena aktivitas politiknya yang begitu padat dan usia beliau yang
cukup singkat, Ali syari'ati hanya sempat menulis dua buku secara
khusus, yaitu Hajj (Haji) dan Kavir (Gurun Pasir), selebihnya adalah kumpulan kuliah dan ceramah beliau yang kemudian dibukukan.[23] Selain itu juga sempat menerjemahkan dan menggubah beberapa buku, seperti Abu Dzar, Salman al-Farisi, dan de Prayer karya
Alexist Carrel. Telah banyak karya beliau yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Pemikiran-pemikiran beliau yang cukup filosofis
dan revolusioner telah cukup banyak mempengaruhi pemikiran Islam modern
yang berkembang di Indonesia.
[1]Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, Diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi (Cet, I; Jakarta: Paramadina, 2003), h. 45.
[2]Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi's Thought: a Critical Reading, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Cet. VII; Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 16.
[3]Ibid.
[4]Lihat Murtadha Muthahhari, Syesyi Makoleh, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan (Cet, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h, 221.
[5]Kazuo Shumogaki, op, cit., h. 17.
[6]Ali Rahmena, ParaPerintis Zaman Baru Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 1995), h. 239.
[7]Eko Supriyadi, Sosialisme Islam: Pemikiran Ali Syari'ati (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 27-28.
[8]Ali Syari'ati, Abu Dzar, Diterjemahkan oleh Tim Muthahhari Paperbacks dengan Judul Abu Dzar: Suara Parau Menentang Penindasan (Cet.. 1; Bandung: Muthahhari Paperbacks, 2001), h. vii.
[9]Eko Supriyadi, op, cit., h. 30-31.
[10]Ali Rahmena, op, cit., h. 205.
[11]Eko Supriyadi, op, cit., h. 31
[12]Ibid., h. 32.
[13]Ekky Malakky, Ali Syari'ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern (Cet. I; Bandung: Teraju, 2003), h. 14-15.
[14]Ali Syari'ati, A Glance at Tomorrow History, diterjemahkan oleh Satria Panindito dengan Judul Islam Agama Protes (Cet. I; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992), h. 7.
[15]Ekky Malakky, op, cit., h. 15.
[16]Eko Supriyadi, op, cit., h. 34.
[17]Ibid., h. 35-36.
[18]Ibid., h. 38.
[19]Ekky Malakky, op, cit., h. 20
[20]Eko Supriyadi, op, cit., h. 40.
[21]Ali Rahmena, op, cit., h. 240.
[22]Ekky Malakky, op, cit., h. 25.
[23]Ibid., h. 27.
No comments:
Post a Comment
siapa saja yang hendak bergelut dengan fantasi kekacau balauan silahkan bergabung dengan saya